Sabtu, 28 Desember 2013

KUMPULAN PUISI SOE HOK GIE



Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(Kabut tipis pun turun pelan pelan
di Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat
(lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati
From Soe Hok Gie With Love
Hari ini aku lihat kembali
wajah-wajah halus yang keras
yang berbicara tentang kemerdekaan
dan demokrasi
dan bercita-cita
menggulingkan tiran
aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
kawan-kawan
kuberikan padamu cintaku
dan maukah kau berjabat tangan
selalu dalam hidup ini??
(soe hok gie à sinar harapan, 18 agustus 1973)

CINTA
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau
Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
( Selasa, 11 November 1969 )
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu
CITA-CITA
Saya mimpi tentang sebuah dunia
Dimana ulama, buruh, dan pemuda,
Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”
Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
Dan lupa akan diplomasi
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi
Yang tak pernah akan datang
( Salem, Selasa, 29 Oktober 1968 )
 Kepada pejuang-pejuang lama
Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu masih ingat suara-suara dibelakang…”mereka gila”)
Hai, kawan-kawan pejuang lama
Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina
Kapal tua ini
Di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan
Pemberontak-pemberontak rakyat
Di sana…
Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh
Gelombang baru.
Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya
Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.
Ayo,,
Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak
Tak ada tempat di kapal ini
 Tentang kemerdekaan
 Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
Yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan samua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita smua adalah
Manusia terbebas.
Mandalawangi-Pangrango
Sendja ini, ketika matahari turun
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
Dan dalam dinginnya.
Walaupun setiap orang berbitjara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.
Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menjelimuti mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah.
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian hidup
 Hidup
Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut, tempat penghentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam
“Merasa seneng jadi landa (belanda)
Kami adalah landa berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan sapiteng, kapiten kok sapiteng
Ini saya mengatur sodat-sodat tidak pokro kabeh,
Semua walanda purik kabeh, tinggal aku thok,
Ini mana kapten kok tidak datang, ini kapten lali po piye?”

“Merasa seneng menjadi aktivis
Kami adalah aktivis berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan aktivis reformasi lanjutkan,
Berkelanjutan kok lanjutkan
Ini saya mengatur saudara-saudara aktivis yang sudah
Muak dan bosan dengan ideology dan kemiskinannya
Semua aktivis melacur, tinggal aku aktivis yang belum di sunat
Ini mana kaptennya aktivis kok belum datang, lupa atau gimana?”

“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir,
Apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang…
Makin lama semakin banyak musuh saya dan
Makin sedikit orang yang mengerti saya.
Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan.
Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan…
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.”
(Soe Hok Gie)
“how many times must a man turn his head
And pretend that he just doesn’t see
How many ears should a man do possess
Before he can hear people cry
How many deaths must taka place till he knows
That too many people have die”
(lagu – blowing in the wind)
Referensi :
Rifai, Muhammad. Soe Hok Gie : Biografi Sang Demonstran 1942 – 1969. Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010.


CATATAN UNTUK SANG DEMONSTRAN



CATATAN UNTUK SANG DEMONSTRAN


nilai nilai yang dianut Hok-gie sebagai sosok aktivis dan cendikiawan yang mengedepankan humanisme, moralitas, kejujuran, setiakawan dan integritas yang kukuh tak mudah dibeli, layak ditiru.
Bagian pertama-buku yang terdiri dari lima bagian ini- dibuka dengan pengakuan dan pengalaman sejumlah sahabat Hok-gie, saat mendaki Gunung Semeru, 12 desember 1969 hingga ajal menjemputnya . Agar mendapat cerita yang utuh tentang kronologis tewasnya Hok-gie, Editor buku Rudy Badil dan kawan-kawan, menghubungi pelaku sejarah yg sudah tak muda lagi. Mengorek informasi dengan mengandalkan sisa ingatan mereka. Sejumlah dokumentasi seperti tulisan tangan di secarik kartu pos dan foto-foto pendukung terkait peristiwa ikut dilampirkan untuk memperkuat historiografi. Sebagian foto seputar kehidupan peranakan Tionghoa yang dimuat dalam buku ini, belum banyak diketahui khalayak Kesemuanya kemudian diramu dan disajikan lewat cerita yang mengalir, bertutur dan cukup jenaka.
Sehari menjelang ulang tahunnya ke-27 atau tepatnya 16 Desember 1969, Hok-gie bersama salah satu anggota rombongan Idhan Dhanvantari Lubis (19) tewas, diduga akibat gas racun di puncak Mahameru . Rudy Badil menulis, proses evakuasi jenazah yg memakan waktu lebih dari satu pekan, memaksa mereka bertahan hidup di alam bebas. Agar tetap hidup, selama empat hari empat malam mereka makan sawi hutan, umbut dan akar alang-alang di gunung tertinggi Pulau Jawa itu. Jenazah Hok-gie dan Idhan Lubis akhirnya berhasil dievakuasi lebih dari sepekan. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Jakarta 24 Desember 1969.
Kematian Hok-gie yang mendadak dan sangat mengejutkan menyita pemberitaan media massa saat itu. Tajuk Rencana Kompas, 22 Desember 1969, misalnya menulis:”…Dia seorang pemuda yang luar biasa telah meninggalkan kita. Luar biasa dalam banyak hal. Cerdas, brilian, jujur, dan terbuka. Seorang idealis yang murni, dengan perasaan keadilan yang tajam. Suatu manusia yang berjiwa bebas. Dan semua itu dihias dengan keberanian yang luar biasa pula”
Kematiannya diusia yang relatif muda, sempat menimbulkan kecurigaan, bermotif pembunuhan politik. Setidaknya ini diakui sahabat Hok-gie, Herman O. Lantang saat diinterogasi polisi di Malang, Jawa Timur, serta cecaran pertanyaan wartawan kepada Rudy Badil (hal 70 dan 76). Tudingan itu cukup beralasan, mengingat semasa hidupnya Hok-gie dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan penulis yang sangat kritis terhadap rezim Soekarno dan Soeharto, di awal pemerintahannya.

Pemikir dan Aktivis yang Selalu Gelisah
Dalam tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media cetak nasional saat itu, Hok-gie misalnya mengkritik kebijakan pemerintah Soekarno dan Soeharto yang dinilai menyimpang. Kritik terhadap kelakuan rekan-rekannya sesama bekas aktivis 1966 yang duduk di parlemen dan dinilai melupakan cita-cita awal perjuangan mahasiswa juga dilontarkan . Tulisannya yang jujur dan tajam begitu membekas bagi pembacanya. Seorang pedagang peti mati menyampaikan rasa kehilangannya, kepada sahabat Hok-gie, Jeanne Mambu yang saat itu tengah mencari peralatan perkabungan di Malang. “Oh ini peti untuk Soe Hok-gie dan Idhan Lubis yang meninggal di Semeru. Saya kenal Soe dari tulisan di koran-koran, saya kagumi Soe yang mau memikirkan nasib rakyat kecil. Kami ikut berduka cita. Maka kami mohon, harap terima rasa duka cita ini dari saya dan staf. Terimalah peti jenazah ini, sebagai sumbangan dan rasa hormat kami semua di Malang…,” (hal.69).
Bagi Sejarawan Institut Sejarah Sosial Indonesia Hilmar Farid, Hok-gie adalah sosok penuh kontradiksi. Ia serius, banyak baca buku, senang diskusi dan debat tentang segala hal. Mulai dari politik sampai film serius tentang Dita Saxova-nya Antonin Moskalyk. Ia gencar mengkritik PKI tapi juga jadi orang pertama yang memprotes pembunuhan massal terhadap anggota dan pendukung partai itu. Hok-gie, tulis Farid dalam “Gie Lewat GIE Mengenang Rasa Malu” mengungkapkan, ikut dalam gerakan sel bawah tanah yang dipimpin tokoh Partai Sosialis Indonesia, PSI Soemitro Djojohadikusumo. Tapi suatu saat, ia menyebut para pemimpin partai itu “sosialis salon”. Ia dengan ringan keluar-masuk markas militer saat aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, KAMI. Tapi juga sering bikin panas kuping para perwira, karena kritiknya terhadap militerisme (hal. 301-302).
Sedangkan Komisioner Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo menilai Hok-gie, sosok yang peduli dengan isu hak asasi manusia dan kebebasan pers. Ini bisa dibaca dari berbagai tulisannya diberbagai media cetak, catatan harian, sampai surat pribadi kepada para sahabat dan pacarnya, Dalam artikelnya “Kebebasan Pers dan Kekecewaan Masyarakat” yang dimuat di Harian Indonesia Raya, 12 Mei 1968, Hok-gie berharap pers juga bisa ikut berjihad melawan koupsi dan ketidakadilan. Dalam pandangannya, bila pers disensor maka kehidupan masyarakat kecil akan kian memburuk (hal.369). Dalam artikelnya “Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua” dimuat dalam Mahasiswa Indonesia Edisi Minggu ke V, Juni 1968 Hok-gie mengecam praktek pelarangan buku karya pengarang yang bersimpati pada kelompok komunis sampai larangan untuk membaca buku karya HB Jasin dan Mochtar Lubis. Buku-buku karya kedua penulis ini disingkirkan dari koleksi perpustakaan universitas. Saat itu Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs K Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku (hal.366)
Penyikapan suatu persoalan oleh Hok-gie, seperti ditulis Jakob Oetama dalam “Gelisah atas nama Integritas” nyaris seperti kakak kandungnya yang juga aktivis dan intelektual, Arief Budiman (Soe Hok Djin). Entah karena factor genetik atau pengaruh lingkungan, keduanya cenderung hitam putih. Salah satu contoh, seperti dalam catatan harian milik Hok-gie pada 20 Agustus 1968 yang sudah dibukukan “Catatan Seorang Demonstran (LP3ES)”: ” Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah…”
Hok-gie selain pemikir juga aktivis, man in the action. Selain gelisah dan terus menggugat, ia juga seorang demonstran. Dia aktivis angkatan 66, arsitek long march mahasiswa dari Rawamangun ke Salemba, Jakarta yang menuntut harga bensin turun. Lazimnya aktivis mahasiswa, Hok-gie jarang pulang ke rumahnya di Kebon Jeruk, Jakarta. Hampir seluruh waktunya ada di kampus atau di jalan. Di kampus selain mengikuti kuliah, juga merencanakan, mengorganisasi demonstrasi, dan menghimpun kekuatan. Jangan lupa, tidak kalah penting Hol-gie punya hobi naik gunung. Hanya kepada langit di puncak gunung yang sepi dia bisa menghilangkan rasa penatnya perpolitikan. Keadaan waktu itu, tahun -tahun 1966, serba represif. Dia gugat keadaan lewat analisis, diskusi maupun tulisan, bahkan demonstrasi. Aktivitas Hok-gie, sudah barang tentu membuat khawatir keluarganya. Ibunya pernah menyampaikan kegundahannya: ” Gie, buat apa sih kritik-kritik orang, kamu cuma cari musuh saja.” Hok-gie hanya menjawab, “Ah, mama nggak ngerti.”
Kisah Asmara dan Sejarawan Tak Teliti
Bagi pembaca yang sudah menyimak catatan harian Hok-gie yang sudah dibukukan “Catatan Seorang Demonstran (LP3ES)” , disebut-sebut ia dekat dengan tiga teman perempuannya yang misterius yakni: Rina, Maria dan Sunarti. Misterius karena dalam buku yang dicetak hingga puluhan kali, ketiga nama perempuan itu merupakan nama samaran. Nama mereka sengaja dirahasiakan, agar kehidupan pribadi tak terganggu. Nah, dalam buku ini rasa penasaran pembaca, sedikit terjawab. Sunarti sebenarnya adalah Nurmala Kartini Pandjaitan atau Kartini Sjahrir yang kini memimpin sebuah partai. Dibuku ini istri almarhum politisi dan ekonom Sjahrir menulis: “Siapa yang ganti nama gue jadi Sunarti di buku itu? Gue pernah dekat dengan Gie sejak 1968, karena kita kan pernah jadi mahasiswa Gie tahun 1969.” (hal. 147). Hubungan keduanya kandas, akibat latar belakang budaya yang berbeda.
Teman dekat Hok-gie lainnya, Luki Sutrisno Bekti. Dia kini bekerja sebagai wartawan senior di Harian Media Indonesia. Luki mengenang dengan semboyan “Buku, Pesta, dan Cinta”, Hok-gie berharap mahasiswa di Fakultas Sastra-UI tumbuh menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Hok-gie, tulis Luki dengan penuh kesadaran mencoba membangun watak para mahasiswa bukan dengan cara memprovokasi atau mengkader secara kasat mata, tapi lebih dengan mengajak secara halus untuk berpartisipasi membesarkan bangsa lewat pengalaman kehidupan mahasiswa di fakultas (hal. 195). Selain mendaki gunung dan berdemonstrasi, aktivitas lain yang dilakukan Hok-gie saat itu menonton dan mendiskusikan film yang diputar di kampus atau berbagai kedutaan asing. Atau mendengarkan dan membahas lagu lagu bernada protes milik Joan Baez dan Bob Dylan.
Hok-gie juga manusia biasa, tak luput dari kekurangan. Sahabatnya di FSUI yang kini Guru Besar Sinologi FIB-UI Dahana menulis, Hok-gie senang bercanda, suka akan cerita-cerita yang sedikit jorok, menyanyikan lagu dengan plesetan yang kadang-kadang cabul. Sementara bekas muridnya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI Mona Lohanda lewat tulisannya “Perkenalan Intelektual dengan Soe Hok-gie”, menilai Hok-gie, sebagai Sejarawan yang kurang teliti dan detail. Mona yang kini bekerja di Arsip Nasional mengkritik Hok-gie tak mau bersusah payah menjelaskan latar belakang-sekalipun singkat-tentang apa yang menjadi pokok bahasan dalam setiap alinea yang dia tulis. Penilaian itu berdasarkan skripsi Hok-gie “Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948. Misalnya ketika Muso datang kembali ke Indonesia tahun 1935 dan membentuk kelompok PKI Muda, atau PKI angkatan 35, dia tidak merasa perlu untuk menjelaskan bahwa kelompok ini selanjutnya akan ditulis PKI 1935 (hal. 396).
Penutup
Sayangnya dalam buku ini, tidak dimuat sebagian surat pribadi Hok-gie. Menurut Komisioner Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo dalam tulisannya, setidaknya ada 132 pucuk surat yang pernah ditulis Hok-gie (hal.339). Surat-surat itu ditulis dengan mesin ketik dan dikirim ke sejumlah teman-temannya, termasuk kepada sang pacar dan juga surat balasan teman dan pacarnya. Teman korespondensinya saat itu antara lain Indonesianis Herbert Feith, Ben Anderson, Daniel S. Lev, David R. Looker, bekas Menteri Prekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, Cendikiawan dan Sejarawan M.T Zen dan Onghokham.
Terlepas kekurangan yang ada, buku ini, layak dibaca siapapun, khususnya bagi kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa . Nilai nilai yang dianut Hok-gie sebagai sosok aktivis dan cendikiawan yang mengedepankan humanisme, moralitas, kejujuran, setiakawan dan integritas yang kukuh tak mudah dibeli, layak ditiru. Seperti kata Rudy Badil, semangat Hok-gie dan keberaniannya mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakan, sesuai dengan apa yang ditulisnya. “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Memang terlalu jujur dan tanpa tedeng aling-aling, tetapi semangat ini harus ditularkan anak-anak zaman sekarang.
Akhirnya memunculkan kembali sosok Soe Hok-gie lewat bunga rampai buku ini, tentu tak dimaksudkan untuk mengkultusindividukan. Mungkin tepat apa yang ditulis Jakob Oetama, sosok Hok-gie pantas ditampilkan dan jadi teladan, di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini.
***
Data Buku:
Judul Buku : SOE HOK-GIE…Sekali Lagi
Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Editor : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R
Halaman : xxx + 510
Cetakan : pertama, Desember 2009
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia,KPG Jakarta
ISBN : -13:978-979-91-0219-5