Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama
kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang
lelap?
Sambil membenarkan letak leher
kemejaku
(Kabut tipis pun turun pelan pelan
di Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi
suram
Meresapi belaian angin yang menjadi
dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra
dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra, Lebih
dekat
(lampu-lampu berkelipan di Jakarta
yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan
terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti
Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal
berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak
mengerti
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan
harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana
jawaban itu
Bagai letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati
From
Soe Hok Gie With Love
Hari ini
aku lihat kembali
wajah-wajah
halus yang keras
yang
berbicara tentang kemerdekaan
dan
demokrasi
dan
bercita-cita
menggulingkan
tiran
aku
mengenali mereka
yang tanpa
tentara
mau
berperang melawan diktator
dan yang
tanpa uang
mau
memberantas korupsi
kawan-kawan
kuberikan
padamu cintaku
dan maukah
kau berjabat tangan
selalu
dalam hidup ini??
(soe hok
gie à sinar harapan, 18 agustus 1973)
CINTA
Ada orang yang menghabiskan waktunya
untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang
mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau
Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
( Selasa, 11 November 1969 )
Nasib
terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua
dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial
adalah berumur tua
Berbahagialah
mereka yang mati muda
Mahluk
kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah
dalam ketiadaanmu
CITA-CITA
Saya mimpi tentang sebuah dunia
Dimana ulama, buruh, dan pemuda,
Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”
Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
Dan lupa akan diplomasi
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Dimana ulama, buruh, dan pemuda,
Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”
Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
Dan lupa akan diplomasi
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi
Yang tak pernah akan datang
Yang tak pernah akan datang
( Salem, Selasa, 29 Oktober 1968 )
Kepada
pejuang-pejuang lama
Biarlah
mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.
Biarlah
mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan
datanglah kau manusia-manusia
Yang
dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita,
para pejuang lama
Yang telah
membawa kapal ini keluar dari badai
Yang
berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu
masih ingat suara-suara dibelakang…”mereka gila”)
Hai,
kawan-kawan pejuang lama
Angkat
beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku
kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan
tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin
kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina
Kapal tua
ini
Di tengah
gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
Tempat
kita, petualang-petualang masa depan akan
Pemberontak-pemberontak
rakyat
Di sana…
Di tengah
rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh
Gelombang
baru.
Ayo, mari
kita tinggalkan kapal ini
Biarlah
mereka yang ingin pangkat menjabatnya
Biarlah
mereka yang ingin mobil mendapatnya
Biarlah
mereka yang ingin rumah mengambilnya.
Ayo,,
Laut masih
luas, dan bagi pemberontak-pemberontak
Tak ada
tempat di kapal ini
Tentang
kemerdekaan
Kita
semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
Yang tak
pernah berakhir,
Kebetulan
kau baris di muka dan aku di tengah
Dan
adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas
kita semua,
Menanamkan
benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….
Kita semua
adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita
adalah alat dari derap kemajuan samua;
Dan dalam
berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti
juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan
bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan
adalah keberanian untuk berjuang
Dalam
derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah
manusia merdeka
Dalam
matinya kita smua adalah
Manusia
terbebas.
Mandalawangi-Pangrango
Sendja ini, ketika matahari turun
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
Dan dalam dinginnya.
Walaupun setiap orang berbitjara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara terima kau dalam
keberadaanmu
Seperti kau terima daku.
Aku tjinta padamu, Pangrango jang
dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian
tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah
kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menjelimuti mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan
semua.
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita
bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah.
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian
hidup
Hidup
Terasa
pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi
terasa panjangnya karena derita
Maut,
tempat penghentian terakhir
Nikmat
datangnya dan selalu diberi salam
“Merasa seneng jadi landa (belanda)
Kami adalah landa berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan sapiteng, kapiten
kok sapiteng
Ini saya mengatur sodat-sodat tidak
pokro kabeh,
Semua walanda purik kabeh, tinggal
aku thok,
Ini mana kapten kok tidak datang,
ini kapten lali po piye?”
“Merasa
seneng menjadi aktivis
Kami
adalah aktivis berpangkat kopral
Ini
dibawah asuhan aktivis reformasi lanjutkan,
Berkelanjutan
kok lanjutkan
Ini
saya mengatur saudara-saudara aktivis yang sudah
Muak
dan bosan dengan ideology dan kemiskinannya
Semua
aktivis melacur, tinggal aku aktivis yang belum di sunat
Ini
mana kaptennya aktivis kok belum datang, lupa atau gimana?”
“Akhir-akhir
ini saya selalu berpikir,
Apa
gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya
menulis, melakukan kritik kepada banyak orang…
Makin
lama semakin banyak musuh saya dan
Makin
sedikit orang yang mengerti saya.
Kritik-kritik
saya tidak mengubah keadaan.
Jadi,
apa sebenarnya yang saya lakukan…
Kadang-kadang
saya merasa sungguh kesepian.”
(Soe
Hok Gie)
“how many times must a man turn his
head
And pretend that he just doesn’t see
How many ears should a man do
possess
Before he can hear people cry
How many deaths must taka place till
he knows
That too many people have die”
(lagu – blowing in the wind)
Referensi :
Rifai, Muhammad. Soe Hok Gie :
Biografi Sang Demonstran 1942 – 1969. Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010.